TRADISI LARANGAN PERNIKAHAN PADA BULAN MUHARRAM DALAM PERSPEKTIF TOKOH NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN TOKOH ADAT DI KECAMATAN SELOPURO KABUPATEN BLITAR

ZUHDI MASRURI, 12102173141 (2021) TRADISI LARANGAN PERNIKAHAN PADA BULAN MUHARRAM DALAM PERSPEKTIF TOKOH NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN TOKOH ADAT DI KECAMATAN SELOPURO KABUPATEN BLITAR. [ Skripsi ]

[img]
Preview
Text
COVER.pdf

Download (1MB) | Preview
[img] Text
ABSTRAK.pdf

Download (574kB)
[img] Text
DAFTAR ISI.pdf

Download (259kB)
[img]
Preview
Text
BAB I.pdf

Download (740kB) | Preview
[img]
Preview
Text
BAB II.pdf

Download (881kB) | Preview
[img]
Preview
Text
BAB III.pdf

Download (439kB) | Preview
[img]
Preview
Text
BAB IV.pdf

Download (589kB) | Preview
[img]
Preview
Text
BAB V.pdf

Download (563kB) | Preview
[img]
Preview
Text
BAB VI.pdf

Download (200kB) | Preview
[img] Text
DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (512kB)

Abstract

ABSTRAK Zuhdi Masruri, 12102173141, Tradisi Larangan Pernikahan Pada Bulan Muharram Dalam Prespektif Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Dan Tokoh Adat Di Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar, Jurusan Hukum Keluarga Islam, IAIN Tulungagung, Pembimbing: Dr. H. Asmawi, M. Ag. Kata Kunci: Tradisi Larangan Pernikahan, Tokoh NU, Tokoh Adat, ‘Urf Penelitian ini dilatar belakangi oleh suatu keadaan masyarakat dimana adanya gugon tuhon (kepercayaan yang berisi ajaran dan larangan yang beredar pada Masyarakat Jawa) khususnya dalam urusan pernikahan, karena suku Jawa khususnya masayarakat di Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar. Mereka berkeyakinan bahwa bulan Muharram merupakan bulan yang tidak baik untuk mengadakan hajatan, karena bulan tersebut berkonotasi negatif dan sial (apes), oleh karena itu pantang bagi mereka untuk mengadakan hajatan pada bulan tersebut. Sehingga peneliti tertarik mengkaji seperti apa perspektif tokoh NU dan tokoh adat, mengingat kebanyakan masyarakat cenderung memilih dan meminta fatwa daripada menelaah sendiri. Penelitian ini terdiri dari dua rumusan masalah yaitu: 1) Bagaimana perspektif tokoh Nahdhatul Ulama Kecamatan Selopuro tentang tradisi larangan pernikahanan pada bulan Muharram? 2) Bagaimana perspektif tokoh adat Kecamatan Selopuro tentang tradisi larangan pernikahan pada bulan Muharram? Metode yang digunakan peneliti ialah metode kualitatif dan jenis penelitian lapangan (field research). Teknik yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data berupa wawancara (interview) dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data peneliti mengunakan cara data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, kemudian melaporkan, dan mengambil kesimpulan. Hasil penelitian : 1) Tokoh Nahdlatul Ulama menganggap bulan Muharram merupakan bulan yang sangat mulia. Adapun pernikahan bisa dilangsungkan kapan saja tanpa melihat waktu, hari, dan bulan. Sedangkan larangan menikah hanya untuk orang yang sedang menunaikan ibadah haji atau umroh. Apabila meyakini bahwa bulan Muharram merupakan bulan angker (sangar) serta membawa malapetaka, maka termasuk perbuatan syirik thiyarah (meramal nasib seseorang). 2) Tokoh adat menganggap pernikahan pada bulan Muharram (Suro) sebagai pantangan (sirikan), sebab bulan Muharram merupakan naas tahun (pembatas awal dan akhir tahun dalam kalender kalender masyarakat Jawa) yang biasa disebut dengan pematang tahun (galengan tahun) yaitu tempat jatuhnya musibah (balak). Sehingga mereka meyakini manakala seseorang melakukan pernikahan pada bulan Muharram dikemudian hari akan menimbulkan suatu permasalahan yang menimpa keluarganya. Adapun pantangan (sirikan) tidak hanya pernikahan saja, perkerjaan lain seperti khitanan dan pindah rumah (boyongan).

Item Type: Skripsi
Subjects: Hukum > Hukum Keluarga Islam
Divisions: Fakultas Syariah Dan Ilmu Hukum > Hukum Keluarga Islam
Depositing User: S1 12102173141 ZUHDI MASRURI
Date Deposited: 22 Jun 2021 04:49
Last Modified: 22 Jun 2021 04:49
URI: http://repo.uinsatu.ac.id/id/eprint/19775

Actions (login required)

View Item View Item