SAIFUL ALI, 12950221020 (2025) KUALIFIKASI WALI NIKAH BERBASIS KECAKAPAN HUKUM(Menggali Konsep Reformulasi Persyaratan Balig dan Adil Bagi Wali Nikah Persepsi Penghulu). [ Disertasi ]
This is the latest version of this item.
![]() |
Text
COVER.pdf Download (3MB) |
![]() |
Text
ABSTRAK.pdf Download (283kB) |
![]() |
Text
DAFTAR ISI.pdf Download (270kB) |
![]() |
Text
BAB I.pdf Download (384kB) |
![]() |
Text
BAB II.pdf Restricted to Registered users only Download (714kB) |
![]() |
Text
BAB III.pdf Restricted to Registered users only Download (367kB) |
![]() |
Text
BAB IV.pdf Restricted to Registered users only Download (595kB) |
![]() |
Text
BAB V.pdf Restricted to Registered users only Download (471kB) |
![]() |
Text
BAB VI.pdf Restricted to Registered users only Download (217kB) |
![]() |
Text
DAFTAR PUSTAKA.pdf Download (261kB) |
![]() |
Text
LAMPIRAN.pdf Restricted to Repository staff only Download (660kB) |
Abstract
Disertasi dengan judul “Kualifikasi Wali Nikah Berbasis Kecakapan Hukum (Menggali Konsep Reformulasi Persyaratan Balig dan Adil Bagi Wali Nikah Persepsi Penghulu) ini ditulis oleh Saiful Ali dengan Promotor Prof, Dr. Iffatin Nur, M. Ag. dan Dr. Asmawi, M.Ag. Kata Kunci: Balig, Adil, Wali Nikah, Reformulasi, Penghulu Pencatatan pernikahan sebagai bagian integral dari sistem hukum keluarga di Indonesia memerlukan kerangka hukum yang jelas, mengikat, dan dapat diterima oleh berbagai pihak, termasuk penghulu yang bertanggung jawab langsung dalam penetapan syarat-syarat sah nikah. Pada praktiknya, syarat-syarat menjadi wali nikah, seperti balig, adil, berakal, dan beragama Islam, sering kali diinterpretasikan dengan beragam. Ketidakjelasan parameter syarat balig dan adil, menyebabkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi pada keabsahan pernikahan. Problem ini menjadi semakin kompleks ketika ditemukan fakta bahwa seorang yang memenuhi kualifikasi balig tetapi belum dewasa atau tidak adil tetap diizinkan untuk menjadi wali nikah, karena tidak ada mekanisme yang jelas untuk mencabut kewenangan sebagai wali. Persepsi penghulu terhadap kualifikasi wali nikah, berlandaskan pada pemahaman fikih yang belum terformulasikan secara memadai dalam aturan hukum yang lebih aplikatif, memunculkan sebuah pertanyaan mendasar Mengapa syarat balig dan adil bagi wali nikah perlu direformulasi? Secara filosofis, pertanyaan ini berkaitan dengan pemahaman tentang kedewasaan dan kecakapan hukum sebagai prasyarat sahnya seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, dalam konteks ini adalah pernikahan. Sementara itu, pada tingkat praktis, ketidakjelasan dalam implementasi syarat-syarat tersebut menciptakan ketegangan antara apa yang diharapkan dalam norma hukum dengan apa yang terjadi dalam praktik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi perspektif penghulu sebagai aktor utama dalam proses pencatatan nikah. Tiga pertanyaan dalam disertasi ini adalah: pertama, mengapa perlu dilakukan reformulasi terhadap syarat balig dan adil bagi wali nikah? Kedua, bagaimana persepsi dan implementasi syarat balig dan adil oleh penghulu dalam praktik pencatatan nikah? Ketiga, bagaimana reformulasi kualifikasi balig dan adil bagi wali nikah berbasis kecakapan hukum menurut persepsi penghulu? Metode penelitian yang digunakan dalam disertasi ini adalah pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, studi komparatif, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan induktif yang memungkinkan penulis untuk mengidentifikasi tema-tema yang muncul dari data empiris dan mendiskusikan peran penghulu dalam menetapkan kualifikasi wali nikah. Pengecekan keabsahan data dilakukan triangulasi, member check dan diskusi dengan teman sejawat yang tergabung dalam Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Blitar. Hasil penelitian menunjukkan 1) Bahwa syarat balig dan adil sebagaimana diatur dalam PMA 20 Tahun 2019, PMA 22 Tahun 2024, dan PMA 30 Tahun 2024, yang mengacu pada bahasa fikih, menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan praktisnya. Balig, yang dalam fikih sering diartikan sebagai usia kedewasaan, tidak memiliki definisi yang tegas dalam peraturan perundang-undangan, yang menyebabkan terjadinya penafsiran yang beragam mengenai kapan seseorang dianggap telah balig. Begitu juga dengan adil, yang sering dipahami sebagai suatu kondisi moral yang sangat subjektif dan sulit diukur secara pasti. Tidak adanya penjelasan yang memadai dalam peraturan ini menimbulkan kebingungan di kalangan penghulu, yang sering kali terpaksa mengabaikan kualifikasi adil, atau bahkan meloloskan individu yang belum memenuhi syarat dewasa untuk menjadi wali nikah. 2) Penelitian menemukan bahwa meskipun penghulu dalam praktiknya mengikuti pedoman fikih dan regulasi untuk menetapkan balig, sering kali mengesampingkan kualifikasi adil karena keterbatasan dalam instrumen dan indikator hukum. Hal ini menggambarkan adanya celah dalam sistem hukum yang perlu diatasi dengan reformulasi terhadap kualifikasi tersebut. 3) Konsep reformulasi kualifikasi baligh dan adil persepsi penghulu diawali dengan konsep kecakapan hukum yang harus dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk secara sah melakukan perbuatan hukum yang memerlukan tingkat kedewasaan. Dengan kata lain, seorang wali nikah harus dianggap cakap secara hukum untuk melakukan tindakan tersebut, yang hanya dapat dicapai apabila ia telah mencapai usia kedewasaan (21 tahun) menurut ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, konsep adil yang selama ini diterjemahkan secara sempit harus diperluas. Ketidakadilan seorang wali tidak seharusnya serta-merta menghalangi perannya dalam wali nikah, kecuali jika ada keputusan dari Pengadilan yang mencabut hak perwaliannya. Reformulasi ini memberikan dasar yang lebih jelas dan terukur dalam penetapan kualifikasi wali nikah yang sesuai dengan prinsip kecakapan hukum dan lebih mencerminkan pemahaman yang lebih rasional terhadap kedewasaan. Secara filosofis, kedewasaan sebagai syarat hukum untuk melakukan suatu perbuatan hukum, bukanlah hal yang bersifat otomatis atau simbolik, melainkan harus dilihat sebagai ukuran dari kecakapan hukum. Batasan usia balig dalam konteks wali nikah harus dilihat sebagai batasan usia di mana seseorang dianggap dewasa secara hukum, yang tidak hanya berkaitan dengan usia fisik semata, tetapi juga dengan kemampuan untuk bertanggung jawab secara hukum. Kecakapan hukum ini harus dijadikan sebagai syarat utama dalam menentukan kelayakan seseorang untuk menjadi wali nikah, menggantikan ketentuan balig yang selama ini dianggap lebih berbasis pada usia semata. Proposisi teori baru yang ditawarkan dalam disertasi ini adalah integrasi pemahaman antara konsep kedewasaan hukum dengan kecakapan hukum dalam menentukan kualifikasi wali nikah. Reformulasi kualifikasi wali nikah berbasis kecakapan hukum ini tidak hanya memberikan kejelasan mengenai parameter balig dan adil, tetapi juga menjamin peran wali nikah sebagai pelindung. Sedangkan untuk kualifikasi adil, selama tidak dicabut hak perwaliannya dari Pengadilan. Reformulasi ini tidak hanya menawarkan solusi terhadap problematika implementasi syarat wali nikah, tetapi juga membuka ruang bagi pengembangan sistem hukum yang lebih responsif terhadap perubahan sosial dan perkembangan hukum.
Item Type: | Disertasi |
---|---|
Subjects: | Hukum > Hukum Islam Peradilan Islam Peradilan Islam > Perkawinan |
Divisions: | Pascasarjana > Disertasi > Studi Islam Interdisipliner |
Depositing User: | 12950221020 SAIFUL ALI |
Date Deposited: | 25 Aug 2025 01:46 |
Last Modified: | 25 Aug 2025 01:46 |
URI: | http://repo.uinsatu.ac.id/id/eprint/61254 |
Available Versions of this Item
-
PENGARUH SERVICE QUALITY, BRAND IMAGE DAN PROMOSI TERHADAP KEPUTUSAN NASABAH DALAM MENGGUNAKAN PRODUK TABUNGAN HAJI DI BANK PANIN DUBAI SYARIAH TULUNGAGUNG. (deposited UNSPECIFIED)
- KUALIFIKASI WALI NIKAH BERBASIS KECAKAPAN HUKUM(Menggali Konsep Reformulasi Persyaratan Balig dan Adil Bagi Wali Nikah Persepsi Penghulu). (deposited 25 Aug 2025 01:46) [Currently Displayed]
Actions (login required)
![]() |
View Item |