PENDISIPLINAN DALAM DISKURSUS BERPERILAKU BAIK NARAPIDANA LEMBAGA PEMASYARAKATAN IIB TULUNGAGUNG PERSPEKTIF MICHEL FOUCAULT

GEAFRINDA PUTRA WARDANI, 126302211005 and BUDI HARIANTO, 199101162020121008 (2025) PENDISIPLINAN DALAM DISKURSUS BERPERILAKU BAIK NARAPIDANA LEMBAGA PEMASYARAKATAN IIB TULUNGAGUNG PERSPEKTIF MICHEL FOUCAULT. [ Skripsi ]

[img] Text
COVER.pdf

Download (543kB)
[img] Text
ABSTRAK.pdf

Download (248kB)
[img] Text
DAFTAR ISI.pdf

Download (191kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (284kB)
[img] Text
BAB II.pdf
Restricted to Registered users only

Download (253kB)
[img] Text
BAB III.pdf
Restricted to Registered users only

Download (559kB)
[img] Text
BAB IV.pdf
Restricted to Registered users only

Download (164kB)
[img] Text
DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (218kB)
[img] Text
LAMPIRAN.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (408kB)

Abstract

Hukuman modern beralih dari hukuman fisik; pencambukan, hukuman publik, dan penyiksaan, menjadi hukuman yang tidak menyentuh tubuh. Jika hukuman tidak menyentuh fisik secara langsung, bagaimana bisa dimungkinakan efektifitasnya Foucault telah menjawabnya secara komprehensif dalam bukunya discipline and punish dan madness and civilization. Justru hukuman yang paling efektif adalah hukuman yang tak menyentuh tubuh fisik secara langsung. Hukuman non fisik justru menembus cangkang tubuh sampai mengendap dalam jiwa subjek. Alih-alih bagian luar tubuh yang ditargetkan, hukuman non fisik lebih dalam mengincar jiwa. Subjek diperbaiki dari dalam dengan menggunakan berbagai metode disiplin, sehingga membentuk ulang konsep diri bagi subjek. Subjek seperti terlahir dengan jiwa yang baru. Seperti itulah hukuman modern bekerja. Tujuan dari penelitian ini berusaha untuk mengupas lapisan demi lapisan struktur diskursus penilaian sampai membentuk konsep pendisiplinan. Penulis berusaha untuk menyajikan bagaimana kuasa di Lapas IIB Tulungagung tidak bekerja secara hierarkis dalam term kepemilikan. Kuasa dalam penelitian ini digambarkan sebagai konsep yang menyebar—tidak hanya konsep yang turun dari Negara atau Lapas, hingga menuju ke tubuh napi. Kuasa dalam penelitian ini digambarkan secara menyeluruh, bahkan tubuh narapidana yang notabennya sebagai objek kuasa mampu untuk menjadi subjek kuasa dan pendisiplinan. Penelitian terdahulu yang mempunyai irisan tematik yang sama, sejauh pengamatan penulis belum ada yang membahas kuasa Foucault sedemikian rupa. Maka dari itu, penulis mengambil titik berangkat dari stand point tersebut. Sehubung dengan tujuan itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dengan observasi parsipatoris dan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data. Analisis data dikerjakan dengan teknik naratif, dengan menggali pengalaman personal narapidana dan petugas. Penelitian ini mengkaji penilaian baik/buruk narapidana yang digunakan di Lapas IIB Tulungagung secara diskursif. Penilaian yang digunakan untuk mengkategorikan napi baik ataupun jahat tidak tercipta secara kebetulan, tidak pula disengaja hanya karena alasan pragmatis seperti; narapidana agar bisa menjalani hidup normal harus membuang jauh sisi jahatnya, orang jahat sepantasnya dihukum seperti itu, dan narasi serupa lain. Tidak, penilaian di Lapas sejatinya tidak demikian. Foucault dengan tegas akan menolak narasi semacam itu. Baginya, narasi yang bernada tunggal—narapidana harus diperbaiki—hasil dari proses politis yang melibatkan kuasa. Alasan pastinya karena dalam narasi perbaikan narapidana, selalu ada narasi lain yang sengaja disenyapkan. Narasi perbaikan melulu soal kepatuhan dan penyerahan diri terhadap takdir, alih-alih perlawanan terhadap nasib dan resistensi aktif. Hal ini menandakan bahwa Lapas selektif untuk menentukan regulasi sifat baik. Lebih jauh lagi regulasi mengenai penilaian diimplementasikan Lapas IIB Tulungagung dalam skema kegiatan; mulai dari fasilitas, peraturan tertulis dan tak tertulis, hingga sejauh pengembangan kepribadian, penulis menyebut skema kegiatan ini sebagai bentuk pendisiplinan. Selanjutnya, dari penjelasan di atas penelitian ini menghasilkan dua garis besar. Pertama, penilaian berperilaku baik yang ditujukan untuk mengkategorikan narapidana ternyata bermuatan politis. Karena hanya kepatuhan dan penyerahan diri yang disebut baik. Konsep baik ini merupakan narasi tunggal yang diyakini oleh lapas. konsep tunggal pasti diikuti dengan konsep lain yang sengaja disembunyikan, dalam konteks Lapas IIB Tulungagung konsep yang disembunyikan antara lain resistensi, perlawanan terhadap nasib, dan narasi-narasi serupa. Kedua, mekanisme pendisipilinan Lapas IIB Tulungagung lebih bersifat pengembangan—yang ini sesuai dengan konsep pendisiplinan ala Foucault. Melalui pelatihan, jadwal harian, pengawasan, panoptisme, serta internalisasi nilai narapidana dibentuk ulang. Narapidana dibentuk ulang dengan mekanisme yang menyentuh jiwa, alih-alih menggunakan konfrontasi fisik.

Item Type: Skripsi
Subjects: Filsafat > Filsafat Barat
Divisions: Fakultas Ushuluddin, Adab Dan Dakwah > Filsafat Agama
Depositing User: 126302211005 GEAFRINDA PUTRA WARDANI
Date Deposited: 26 Nov 2025 04:59
Last Modified: 26 Nov 2025 04:59
URI: http://repo.uinsatu.ac.id/id/eprint/64389

Actions (login required)

View Item View Item