DINAMIKA PROSES PENERIMAAN DIRI ANAK BROKEN HOME DEWASA AWAL

HENI KARTIKA SARI, 126308203179 (2024) DINAMIKA PROSES PENERIMAAN DIRI ANAK BROKEN HOME DEWASA AWAL. [ Skripsi ]

[img]
Preview
Text
COVER.pdf

Download (1MB) | Preview
[img]
Preview
Text
ABSTRAK.pdf

Download (187kB) | Preview
[img]
Preview
Text
DAFTAR ISI.pdf

Download (111kB) | Preview
[img]
Preview
Text
BAB I.pdf

Download (108kB) | Preview
[img] Text
BAB II.pdf
Restricted to Registered users only

Download (288kB)
[img] Text
BAB III.pdf
Restricted to Registered users only

Download (104kB)
[img] Text
BAB IV.pdf
Restricted to Registered users only

Download (670kB)
[img] Text
BAB V.pdf
Restricted to Registered users only

Download (87kB)
[img]
Preview
Text
DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (104kB) | Preview
[img] Text
LAMPIRAN.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (2MB)

Abstract

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penerimaan Diri 2.1.1 Pengertian Penerimaan Diri Menurut Hurlock E. B (1976) self acceptance atau penerimaan diri merupakan The degree to which an individual having considered his personal characteristics is able and willing to live with them. Yaitu derajat di mana seseorang telah mempertimbangkan karakteristik personalnya, merasa mampu serta bersedia untuk hidup dengan karakteristiknya tersebut. Menurut Nurcahya (2021) penerimaan diri merupakan perilaku positif untuk diri sendiri dengan cara mampu menerima segala sesuatu yang ada pada dirinya dengan tenang, baik segi kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, tanpa adanya rasa bersalah, malu, rendah diri akan penilaian orang lain. Penerimaan diri juga dapat diartikan sebagai tingkatan seseorang yang telah mengetahui karakteristik personalnya baik itu kelebihan maupun keterbatasan dalam dirinya, kemudian menerima karakteristik tersebut dalam hidupnya dan membentuk integritas para dirinya (Permatasari & Gamayanti, 2016). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri merupakan derajat seseorang yang menerima segala kelebihan dalam dirinya tanpa membenci kekurangan pada dirinya, sehingga hal tersebut menjadi karakteristik personalnya, dan dia mampu untuk hidup dengan karakter personalnya tersebut.   Ajaran agama islam penerimaan diri juga bisa disebut dengan qana'ah (Tunnisa,2019). Menurut Maksum, (2011) Qana'ah adalah sikap yang rela menerima segala sesuatu yang telah terjadi, merasa cukup akan hal yang dia miliki dan menjauhkan dari sifat merasa tidak puas atau merasa kurang terus menerus, dalam perspektif yang luas qonaah terdapat lima hal di dalamnya yaitu: 2.1.1.1 Menerima diri apa adanya dalam artian dia sudah mampu menerima dirinya baik dari sisi kelebihan dan kekurangan yang dia miliki, tanpa adanya rasa penyesalan dan kebencian akan jalan yang Allah berikan. 2.1.1.2 Memohon yang terbaik kepada Allah, disertai dengan usaha ikhtiar, qana’ah disini tidak hanya diartikan sebagai berpasrah menerima takdir, akan tetapi juga diimbangi dengan usaha. 2.1.1.3 Menerima dengan lapang dada akan ketentuan Allah SWT, menerima dengan sabar akan ketentuan-ketentuan yang Allah berikan, mencoba untuk mengambil hikmah dari setiap peristiwa di masa lalu. 2.1.1.4 Bertawakal kepada Allah, berserah diri kepada Allah SWT akan semua takdir yang sudah terjadi, serta meminta kekuatan dari Allah untuk menjalani yang sudah ditetapkan. 2.1.1.5 Tidak terlalu larut dalam urusan duniawi, terus belajar untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, tidak terlalu berambisi pada urusan duniawi. Menurut Harapan & Ahmad (2016) penerimaan diri merupakan seseorang yang memiliki penghargaan tinggi terhadap diri sendiri dan tidak membenci dirinya, penerimaan diri berkaitan dengan tiga hal yaitu 1) Seseorang yang memiliki pemikiran, perasaan dan reaksi terbuka kepada orang lain. 2) Seseorang yang sehat secara psikologisnya. 3) Mampu menerima orang lain dalam kehidupannya. Menurut Bernard (2013) dalam bukunya penerimaan diri dibagi menjadi dua aspek yaitu pertama kesadaran diri dan penghargaan karakteristik positif dan pengembangan potensi (kepribadian, keluarga, bakat, agama dan karakteristik budaya), kedua rasa bangga dan menerima diri sendiri tanpa syarat ketika peristiwa sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi (seperti kegagalan, kritik, atau penolakan dari orang lain), tidak terlalu membenci diri ketika terlibat dalam suatu perilaku interpersonal yang negatif. Dari penjelasan diatas disimpulkan penerimaan diri yaitu suatu kondisi seseorang individu yang mampu hidup dengan karakteristik yang telah ditetapkan, mampu menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya meski hal tersebut tidak diharapkan. 2.1.2 Aspek-Aspek Penerimaan Diri Aspek-aspek penerimaan diri menurut (Hurlock E. B., 1994) diantaranya sebagai berikut: 2.1.2.1 percaya diri dan menghargai diri sendiri, seseorang yang mampu menerima dirinya akan cenderung memiliki kepercayaan diri, dan menghargai diri sendiri karena dia mampu untuk menerima segala sesuatu yang ada pada dirinya, sekalipun peristiwa yang menyakitkan pada saat itu. 2.1.2.2 Kesediaan menerima kritikan dari orang lain, seseorang yang menerima diri akan selalu menerima kritikan dari orang lain, meskipun dia merasa sudah memiliki penilaian terhadap diri sendiri, tetapi tetap menerima kritikan dari orang lain untuk dijadikan bahan evaluasi. 2.1.2.3 Mampu mengoreksi diri dan menerima kelemahan, ketika seseorang mampu menerima dirinya, maka dia juga akan paham dengan dirinya, mampu menerima keterbatasan dalam dirinya, terus mengoreksi dan berusaha untuk memperbaiki keterbatasan-keterbatasan dalam dirinya. 2.1.2.4 Jujur terhadap diri sendiri dan orang lain, selain memahami diri sendiri seseorang yang menerima dirinya akan bersikap jujur terhadap diri sendiri, dalam artian dia mengakui dengan penuh sadar dan keberanian kondisi dirinya dan menerima apapun yang telah terjadi pada dirinya. 2.1.2.5 Nyaman dengan diri sendiri, ketika seseorang sudah menerima diri maka dia akan cenderung merasa nyaman dengan dirinya yang sekarang, karena merasa jauh lebih senang ketika dia mampu menerima segala sesuatu pada dirinya. 2.1.2.6 Memanfaatkan kemampuan dengan baik, memanfaat kemampuan dengan baik dan terus meningkatkan kemampuan tersebut sehingga dapat berguna untuk diri sendiri dan lingkungan sekitar. 2.1.2.7 Mandiri dan berpendirian, tidak bergantung pada orang lain dan selalu memiliki pendirian yang kuat, hal tersebut sering terjadi pada anak broken home, dimana biasanya dia akan berusaha untuk mandiri dalam menyelesaikan suatu permasalahannya, tanpa melibatkan orang tua, karena dia tahu bahwa kondisi orang tuanya sedang tidak baik-baik saja. 2.1.2.8 Bangga akan diri sendiri, bangga akan diri sendiri disini bukan berarti terlalu membangga-banggakan dirinya secara berlebih, akan tetapi seseorang merasa bangga pada dirinya karena telah mampu melewati masa-masa yang begitu sulit tentunya untuk menuju penerimaan diri. 2.1.3 Faktor-Faktor Penerimaan Diri Faktor-faktor pendukung penerimaan diri menurut (Hurlock E. B., 1994) 2.1.3.1 Adanya pemahaman tentang diri sendiri, adanya pandangan atau persepsi murni pada dirinya sendiri secara realistis, seseorang yang paham betul akan dirinya sendiri, dalam artian memahami kelebihan dan keterbatasan yang dia miliki tanpa adanya rasa berbangga diri secara berlebihan terhadap kelebihannya, dan tidak terlalu membenci keterbatasan yang dimilikinya. 2.1.3.2 Adanya hal yang realistis, hal ini muncul ketika seseorang sudah mampu memahami dirinya sendiri, sehingga seseorang tidak perlu diatur oleh orang lain untuk mencapai keberhasilan dengan menggunakan harapan yang realistis sesuai dengan kemampuannya, maka akan semakin besar peluang tercapainya keberhasilan tersebut, hingga menimbulkan kepuasan terhadap diri sendiri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri. 2.1.3.3 Tidak adanya hambatan dalam lingkungan, lingkungan sekitar memiliki peranan cukup penting dalam proses penerimaan diri, sehingga ketika seseorang memiliki harapan yang realistis, akan tetapi lingkungan sekitar tidak mendukung maka harapan tersebut juga akan sulit untuk dicapai, selain itu dalam proses penerimaan diri dukungan dari lingkungan sekitar juga menjadi bagian dari proses penerimaan diri. 2.1.3.4 Tidak ada privasi yang berat, maksudnya tekanan emosi yang berat akan mengganggu aktivitas sehari-hari, sehingga ketika seseorang tidak memiliki privasi atau tekanan emosi yang berat maka dia akan mampu bekerja dengan baik dan berbahagia. 2.1.3.5 Tingkat keberhasilan yang dialami, keberhasilan yang pernah dialami oleh seseorang akan menjadi sinyal kebahagiaan dalam dirinya, sehingga seseorang akan mempertahankan hal tersebut, semakin banyak keberhasilan yang dia dapatkan maka dapat membantu seseorang dalam menerima dirinya dengan baik. 2.1.3.6 Adanya perspektif diri yang luas, belajar untuk melihat diri sendiri dari pandangan orang lain melalui belajar dan pengalaman, sehingga memiliki perspektif diri yang luas dan objektif terhadap diri sendiri akan membantu seseorang dalam proses penerimaan diri. 2.1.3.7 Pola asuh di masa kecil yang baik, ketika seorang anak memiliki pola asuh yang baik dimasa lalu akan dapat memberikan pembelajaran yang baik pula, sehingga akan dapat membentuk kepribadian baik yang untuk proses penerimaan diri. 2.1.3.8 Konsep diri yang stabil, apabila seseorang memiliki konsep diri yang berubah-ubah maka akan mengalami kesulitan dalam memahami dan menerima darinya, sehingga terjadi penolakan dalam dirinya sendiri, karena memandang dirinya yang selalu berubah-ubah. 2.1.3.9 Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri, bertemu dengan orang lain yang memiliki penerimaan diri yang baik akan memungkinkan seseorang untuk memiliki roll model dalam membangun sikap-sikap yang positif dan bertingkah laku dengan baik, sehingga dia mampu untuk menerima dirinya. 2.1.3.9 Sikap anggota masyarakat yang tidak menimbulkan prasangka, lingkungan sekitar secara tidak langsung ikut andil dalam proses penerimaan diri, jika masyarakat memberikan penghargaan terhadap kemampuan orang lain atau berperilaku baik, maka individu akan cenderung senang dan mudah untuk menerima dirinya. Faktor-Faktor Penghambat Penerimaan Diri Proses penerimaan tentunya akan terdapat hambatan-hambatan baik dari faktor internal dari diri sendiri maupun faktor eksternal dari lingkungan sekitar. menurut Sheerer dalam (Prasetya , 2013) faktor-faktor penghambat penerimaan diri yaitu 2.1.3.1 Respon masyarakat yang tidak menyenangkan, respon yang tidak menyenangkan dari lingkungan sekitar dapat menghambat proses penerimaan diri, karena dalam proses penerimaan diri lingkungan sekitar memiliki peranan, ketika mendapatkan respon yang baik dari lingkungan sekitar akan menjadi dukungan dalam proses penerimaan diri. 2.1.3.2 Tidak adanya dukungan dari lingkungan sekitar, dukungan dari lingkungan sekitar dapat mempengaruhi proses penerimaan diri seseorang, dimana ketika seseorang dalam proses penerimaan diri dia tidak merasa sendirian dalam artian dia mendapatkan dukungan dari lingkungan yang mempengaruhi penerimaan dirinya. 2.1.3.3 Memiliki hambatan emosional yang berat, seseorang dapat melakukan penerimaan diri jika dalam kondisi psikologis yang baik, sehingga perlu adanya regulasi emosi yang baik untuk proses penerimaan diri. 2.1.3.4 Berpikir negatif tentang masa depan, pandangan yang buruk tentang masa depan bagi anak broken home, tentu saja hal tersebut menjadi faktor penghambat saat proses penerimaan diri, seseorang yang menerima dirinya, maka dia akan memiliki pandangan-pandangan yang optimis tentang masa depan.   2.1.4 Ciri-ciri Penerimaan diri Menurut Hurlock E.B (1976) beberapa ciri-ciri yang menggambarkan seseorang yang telah menerima dirinya diantaranya sebagai berikut: 2.1.4.1 Seorang yang menerima dirinya akan memiliki harapan yang realistis terhadap keadaan dan menghargai dirinya sendiri, yang artinya orang tersebut memiliki harapan yang realistis sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, ketika seseorang memiliki rasa penerimaan diri, maka dia akan merasa sadar akan batasan-batasan pada dirinya, sehingga hal tersebut akan membuat seseorang memiliki harapan yang realistis dalam artian berharap sesuai kemampuan. 2.1.4.2 Kemudian yaitu memiliki standar pada diri sendiri, tidak terpaku pada pendapat orang lain, seseorang yang menerima dirinya sendiri maka ia akan memiliki standar atau pandangan tentang dirinya sendiri, merasa paham akan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki sehingga tidak akan mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain tentang dirinya. 2.1.4.3 Memiliki pemahaman akan keterbatasan dirinya dan tidak terlalu membenci akan hal tersebut, penerimaan diri bukan hanya sebatas menerima dirinya apa adanya, melainkan menerima dan tidak membenci segala kekurangan atau keterbatasan yang ada pada dirinya, sehingga kekurangan tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi untuk lebih baik kedepannya. 2.1.4.4 Memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang diinginkan, seseorang yang mampu menerima dirinya akan memiliki kebebasan dalam melakukan hal yang diinginkan, selama hal tersebut tidak merugikan diri sendiri dan orang sekitar, sehingga ia dapat melakukan apapun tanpa anda tekanan dan paksaan dari lingkungan sekitar. 2.1.4.5 Memiliki takaran akan keterbatasan akan tetapi dia tetap menghargai dirinya, hal ini diartikan bahwa seseorang yang menerima dirinya akan memiliki hitungan atau penilaian tersendiri bagi dirinya, sehingga ia paham betul tentang dirinya, baik segi kelebihan dan keterbatasan yang ia miliki, tanpa harus terpacu pada penilaian orang lain. 2.2 Broken Home 2.2.1 Pengertian Broken Home Secara etimologis broken home berarti keluarga yang retak (Echols & Shadily , 2006). Sedangkan menurut Willis (2011) Broken home diartikan sebagai keluarga yang retak, sehingga hilangnya perhatian atau kurangnya kasih sayang dari orang tua disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya perceraian yang mengakibatkan anak hanya tinggal dengan salah satu orang tua kandung. Menurut Chaplin (2011) broken home merupakan suatu kondisi keluarga yang tidak lengkap dikarenakan perceraian, terdapat anggota yang meninggal ataupun ditinggal pergi oleh anggota keluarga tersebut. Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya broken home merupakan suatu kondisi keluarga yang retak, sehingga di dalamnya tidak ada lagi perhatian atau kasih sayang antar anggota keluarga, adapun penyebab dari broken home dikarenakan perceraian, ditinggal mati oleh salah satu anggota keluarga, ditinggal pergi oleh salah satu anggota keluarga. Menurut Hurlock E. B (1993) perceraian merupakan suatu kondisi puncak dari penyesuaian yang buruk antara suami dan istri, sehingga berujung pada tidak lagi menemukan suatu jalan keluar dari permasalahan yang dapat memuaskan kedua belah pihak dan berakhir pada perpisahan. Kata cerai sendiri dalam KBBI sendiri adalah putusnya hubungan antara suami dan istri disebabkan oleh beberapa faktor seperti; perceraian, meninggal. Sedangkan hakikat dari perceraian dalam KBBI yaitu berakhirnya suatu hubungan pernikahan, saat salah satu atau kedua pasangan tidak ingin melanjutkan kehidupan pernikahan mereka, sehingga mereka meminta pengadilan untuk memisahkan.   Menurut Siswanto (2020) perceraian merupakan sebuah proses akhir dari hubungan pernikahan antara suami dan istri, yang tentunya terdapat beberapa peristiwa sebelumnya yang sesuai dengan permasalahan suami istri tersebut, seperti halnya; perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pasangan atau bahkan keduanya, kondisi perekonomian yang tidak mencukupi seorang istri biasanya merasa bahwa suami tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan pribadinya, kemudian yaitu KDRT yang biasa terjadi ketika suami berperilaku kasar terhadap istrinya, berangkat dari permasalahan-permasalahan yang telah dialami mereka memilih jalan bercerai sebagai akhir dari penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan tersebut. Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwasanya perceraian merupakan putusnya hubungan antara suami dan istri, yang tentunya terdapat beberapa permasalahan sebelumnya dan mereka merasa bahwa sudah tidak mampu lagi untuk menyesuaikan diri atau menemukan jalan keluar dari permasalahan tersebut, sehingga mereka memilih jalan bercerai sebagai akhir dari penyelesaian permasalahan tersebut. 2.2.2 Dampak Broken Home Broken home tentunya akan memberikan dampak terhadap anggota keluarga terutama bagi seorang anak. Anggota keluarga yang paling merasakan dampak dari perceraian adalah anak, dampak yang ditimbulkan dari perceraian cenderung negatif (Massa & Rahman, 2020). Dampak dari perceraian orang tua dapat mengganggu hubungan antara anak dan orang tua, hal ini dapat mempengaruhi kondisi psikologis anak (Nurlita & Susilowati, 2019). Menurut Bilori (2023) anggota keluarga yang merasakan dampak broken home adalah kondisi psikologis seorang anak, seorang anak akan merasakan kebingungan karena mengetahui kondisi keluarganya yang berantakan, seorang anak juga akan mengalami hambatan dalam perkembangan mental karena melihat suatu perubahan komunikasi dan interaksi dengan kedua orang tua mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Massa et al. (2020) adapun dampak negatif dari broken home yaitu diantaranya: 2.2.2.1 Rentan mengalami gangguan psikis, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa anak-anak broken home di desa Limbatihu rentan mengalami gangguan psikis yang disebabkan oleh perceraian kedua orang tuanya, dimana ketika perceraian terjadi seorang anak akan mengalami kondisi kritis ketika melihat orang tua yang sudah tidak lagi tinggal bersama sehingga akan menimbulkan rasa kebingungan dalam diri anak. 2.2.2.2 Menimbulkan rasa kebencian terhadap orang tua, berdasarkan wawancara yang telah dilakukan seorang anak broken home cenderung akan menyalahkan bahkan sampai membenci orang tuanya sendiri, karena sang anak merasa kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, komunikasi dari orang tuanya setelah perceraian terjadi. 2.2.2.3 Mudah dipengaruhi hal-hal buruk oleh lingkungan sekitar, hal ini terjadi ketika, kondisi rumah yang tidak lagi menjadi tempat yang nyaman, maka seorang anak akan mencari tempat pengganti di mana seorang anak tersebut dapat saling berbagi dan menghibur dirinya, pada saat kondisi seperti ini maka teman-teman atau orang-orang yang ada di lingkungan sekitar akan menjadi pengganti keluarganya tersebut, namun jika lingkungan pertemanan kurang baik maka tentu saja anak tersebut akan mudah untuk terpengaruh melakukan hal-hal yang menyimpang sebagai bentuk pelarian untuk mendapatkan kebahagiaan yang diinginkan. 2.2.2.4 Tidak memiliki semangat hidup, berdasarkan hasil temuan di lapangan terdapat beberapa anak broken home di desa Limbatihu Kecamatan Paguyaman Pantai cenderung merasa kehilangan tujuan hidup, karena dia merasa bahwa hidupnya hanya akan sia-sia, hal tersebut terjadi karena seorang anak tidak lagi mendapatkan kasih sayang dan rasa tanggung jawab dari orang tua, sehingga hal inilah yang membuat anak tersebut memandang hidupnya sia-sia, ada juga beberapa dari mereka merasakan kesedihan serta kehancuran hati yang mendalam hingga menyebabkan berubahnya pandangan hidup ke arah negatif. 2.2.2.5 Mengalami kesulitan dalam bergaul dengan lingkungan sekitar, berdasarkan hasil temuan di lapangan bahwasanya terdapat beberapa anak broken home yang cenderung menarik diri dari lingkungan sekitar, karena dia merasa malu dengan kondisi keluarganya dan merasa iri dengan teman-temannya yang memiliki keluarga yang lengkap, serta mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya, pada dasarnya anak broken home memiliki sifat yang pendiam menarik diri dan menyendiri, hal ini juga terjadi karena kurangnya dukungan sosial terhadap anak-anak tersebut. 2.2.2.6 Memiliki permasalahan pada moral, hasil penelitian menunjukkan bahwasanya dalam proses perkembangan anak dengan latar belakang broken home, secara tidak langsung anak tersebut akan merasakan kondisi pertengkaran kedua orang tuanya, sehingga hal tersebut dapat membentuk kepribadian seorang anak, menjadi pribadi yang keras dan kasar, sehingga seiring berjalannya waktu anak juga akan terbiasa untuk melakukan perilaku-perilaku yang seperti dia lihat ketika orang tuanya sedang bertengkar, berperilaku kasar, tidak dapat mengontrol emosi dan bertindak tidak terpuji lainnya, dan hal tersebutlah yang anak lakukan kepada teman-temannya.   Dikaji lebih dalam broken home tidak hanya memberikan dampak negatif, akan tetapi broken home juga dapat memberikan dampak positif terutama pada bagi seorang anak, tergantung bagaimana seorang anak memaknai atau mengambil hikmah dari peristiwa broken home tersebut. Adapun dampak positif dari broken home berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Octavian & Cahyani, (2023) dampak positif dirasakan oleh kedua subjek diantaranya memiliki 2.2.2.1 Subjek memiliki rasa empati kepada seorang yang memiliki permasalahan serupa, seorang anak broken home akan memiliki rasa empati yang tinggi kepada seseorang yang memiliki permasalahan sama dengan dirinya, hal tersebut dikarenakan dia paham betul akan kondisi dan perasaan yang sedang dialami oleh orang tersebut. 2.2.2.2 Dampak positif dari perceraian kedua orang tua, subjek suka membantu temannya dan ingin membuat temannya selalu merasa nyaman dengan dirinya, hal tersebut muncul dari pengalaman yang dia rasakan, subjek cenderung berpikir bahwa ingin selalu membuat temannya merasa nyaman, sehingga dia tidak akan ditinggalkan oleh teman-temannya. 2.2.2.3 Mampu menyelesaikan konflik bersama temannya, hasil penelitian menunjukkan anak broken home akan memiliki kemampuan 30 yang baik karena ia mampu menyelesaikan permasalahan diri sendiri dan orang tuanya, sehingga hal tersebutlah yang akan dilakukan untuk membantu temannya yang sedang mengalami permasalahan. 2.2.2.4 Memiliki kepercayaan diri, dan memiliki kemampuan untuk berpikir positif, ketika seorang anak broken home, sudah mampu untuk menerima diri dan memahami segala sesuatu yang ada pada dirinya, maka dia akan memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk berpikir positif akan peristiwa menyakitkan kala itu, mencoba belajar mengambil hikmah atau pelajaran dari peristiwa tersebut. 2.2.2.5 Selain dampak positif perceraian di atas, seorang anak dengan latar belakang keluarga broken home juga dapat memiliki tingkat subjektif well-being yang tinggi, hal tersebut terjadi karena adanya keterbukaan antara anak dan orang tua terkait konflik yang terjadi dalam keluarga, sehingga anak memiliki pemahaman bahwa perceraian merupakan jalan yang harus ditempuh daripada hidup dalam keluarga tidak harmonis (Dewi & Herdiyanto , 2018). 2.3 Dewasa Awal 2.3.1 Pengertian Dewasa Awal Secara etimologis dewasa berasal istilah “adult” yang merupakan istilah dari bahasa latin “adolesene-adolescere” yang memiliki makna “tumbuh dan kedewasaan” (Azmi 2020). Rentang usia dewasa awal menurut Hurlock (1990) terjadi rentang usia 18-40 tahun. Maka dari itu dewasa merupakan idividu yang telah menyelesaikan masa pekerbangan sebelumnya, siap untuk hidup bermasayarakat dan mampu hidup bersama dengan orang-orang disekitar (Hurlock 1990). Menerut Gunarsa & Yulia (2008) ketika individu berada tahap dewasa muda individu sudah mampu mengambil keputusan yang baik berdasarkan apa yang baik dan tepat berdasarkan suatu kontak, perjanjian, baik sosial mapun pribadi, mereka mampu memperimbangkan dan pemperhatikan perspektif orang lain, pada tahap ini seseorang juga sudah mampu menyadari nilai-nilai yang ada pada dirinya, dalam memahami suatu hukum dan proses berubahnya mereka akan dibantu oleh rasio mereka.   2.3.2 Tugas perkembangan Hurlock (1990) dalam buku nya menjelaskan tugas-tugas perkembangan dewasa awal diantranya sebagai berikut; 2.4.1 Memiliki teman hidup, pada umumnya seseorang ketika memasuki usia dewasa awal akan mencari teman hidup, atau pasangan yang mampu menerima dirinya, dan dapat diajak untuk menikah 2.4.2 Hidup dengan pasangan, pada fase ini seseorang akan berusaha menyesuaikan diri, pendapat pasangan atau realita kehidupan 2.4.3 Mulai hidup dengan keluarga atau berkeluarga, pada fase ini mulai mengabaikan kepentingan pribadi, dan mengutamakan kepentingan keluarga atau kepentingan kelompok 2.4.4 Dituntut untuk memahami sesuatu dengan baik, pada fase ini seseorang diharapkan mampu memahami atau menyikapi suatu permasalahan dapat melihat permasalahan dari berbagai arah 2.4.5 Mampu mengelola rumah tangga atau management diri, mampu mengatur dan menyelesaikan konflik dengan baik tanpa menimbulkan permasalahan baru 2.4.6 Mulai bekerja, ketika seseorang pada fase dewasa akan memiliki rasa tanggungjawab secara finansial untuk diri sendiri dan untuk keluarga 2.4.7 Mulai bertanggungjawab sebagai warga negara yang layak, dalam hal ini seseorang akan mampu berpikir secara baik sehingga dia mampu bertangungjawab sebagai warga negara yaing baik 2.4.8 Memperoleh kelompok sosial yang sepaham dengan nilai-nilai yang dianutnya, pada tahap ini seseorang akan mampu bersosialisasi dengan orang lain sehingga dia akan bertemu dengan orang yang sepaham dengan dirinya   2.4 Keabsahan atau Keunikan Teori dan Konteks Penelitian Dewasa awal merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa yang mana hal tersebut bukan suatu fase yang mudah untuk dilalui. Dari masa remaja menuju dewasa akan melewati atau menghadapi problematika kehiupan yang komplek, mulai dari problematika pertemanan, pendidikan, pekerjaan, hingga problematika keluarga. Pada masa remaja menuju dewasa seorang anak akan tetap membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tua, akan tetapi hal tersebut jarang didapatkan oleh anak broken home. Bagi anak broken home penerimaan diri merupakan suatu hal yang harus bisa dimiliki karena agar mampu untuk berdamai dengan masa lalu. Perjalanan atau proses penerimaan diri setiap individu berbeda, yang mana hal tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Dalam proses penerimaan diri tidak akan pernah luput dari permasalahan, sehingga penelitian juga juga membahas self defense dari setiap subjek penelitian, hal inilah yang menjadi keunikan dari penelitian ini. Karena berdasarkan studi litatur yang telah dilakukan belum menemukan penelitian yang membahas hal tersebut.   2.5 Kriteria Subjek Penelitian Adapun kriteria subjek dari penelitian ini yaitu penelitian ini adalah anak yang memiliki latar belakang keluarga broken home spesifik akibat dari perceraian orang tua, berjenis kelamin laki-laki/perempuan, berusia dewasa awal 2.6 Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menjadi pedoman dalam penelitian ini, diantaranya sebagai berikut: 2.6.1 Penelitian yang dilakukan oleh Azmi (2020) dengan banyaknya kasus broken home yang dapat menimbulkan rasa kebencian terhadap keluarganya, dapat menyebabkan anak mencari pelarian dalam masa pertumbuhannya serta perkembangan. Bagi anak broken home setiap pekembangan akan mengalami berbagai fase, salah salah saunya fase penerimaan diri. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan beberapa tahapan dalam penerimaan diri yang pertama yaitu tahap denial seseorang akan menyangkal apa yang telah dialaminya, kemudian tahap angger tahapan di mana subjek marah akan kondisi yang dialami, selajutnya tahap bargining kondisi dimana subjek mulai muncul rasa rasa tawar-menawar kondisi yang dialami, keempat tahap depression tahapan seorang subjek merasakan kesedihan yang mendalam dalam kurun waktu tertentu, hingga pada akhirnya subjek berada pada tahap acceptance atau penerimaan diri akan kondisi yang telah dialami, subjek dalam penelitian ini mampu menerima diri cara penuh dan memaafkan segala sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu. 2.6.2 Penelitian oleh Wulandari & Fauziah (2019) keluarga merupakan satu kelompok sosial yang hidup bersama dengan hubungan darah atau ikatan pernikahan. Perselisihan dalam keluarga dapat menimbulkan keretakan keluarga atau biasa disebut dengan broken home. keadaan keluarga yang krisis dapat menimbulkan kerugian banyak pada pihak terutama pada anak. Adapun subjek dalam penelitian ini merupakan seorang mahasiswa dari sebuah universitas dan seorang karyawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya ketiga subjek dalam penelitian ini dapat bertahan pada keadaan keluarga broken home karena adanya penerimaan diri yang positif. Ketika subjek mengaku bahwa penerimaan diri muncul dipengaruhi oleh religiusitas dan dukungan emosional dari lingkungan sekitar ke 3 subjek mampu membangun kemampuan resiliensi dengan ditunjukkan bangkit kembali dan memiliki harapan untuk 2.6.3 Penelitian yang dilakukan oleh Umar (2023) dampak perceraian orang tua terhadap anak hampir selalu buruk, banyak anak menderita masalah psikologis dan sosial selama bertahun-tahun akibat stres yang berkepanjangan dalam keluarga yang bercerai. Penelitian ini menunjukkan bahwa para remaja yang orang tuanya bercerai memiliki sikap penerimaan diri meskipun orang tuanya bercerai. Faktor yang mempengaruhi penerimaan di remaja tersebut diantaranya adanya harapan yang realistis, keberhasilan pemahaman diri, wawasan sosial, konsep diri yang stabil, tidak adanya hambatan lingkungan tidak memiliki stres emosi yang berat identifikasi seorang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, perspektif diri, hubungan orang tua dan anak pola seorang tua. Penerimaan diri remaja tersebut menjadikan mereka memahami bahwa perceraian dilakukan demi kebaikan orang tua mereka. Akan tetapi dari segi konsep diri mereka cenderung cenderung kurang stabil. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, terdapat perbedaan subjek dengan salah satu penelitian telah dilakukan, penelitian terdahulu membahas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses penerimaan diri, dan tahapan-tahapan penerimaan diri. Sedangkan untuk persamaan dengan penelitian terdahulu yaitu dua dari penelitian terdahulu membahas tentang dinamika penerimaan diri anak broken home usia dewasa awal, faktor-faktor pendukung penerimaan diri, tahap-tahap penerimaan diri. Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan peneliti belum menemukan penelitian yang membahas tentang aspek-aspek peneriaan diri anak broken home, self devense yang dilakukan selama proses penerimaan diri, karena dalam proses penerimaan diri pasti akan problamatika kehidupan. Yang mana hal tersebut apat menjadi keuinikan tersendiri bagi pnenelitian ini. 2.7 Kerangka Teoritis Kerangka teoritis dalam penelitian ini adalah dinamika proses penerimaan diri yang menjadi kerangka utama, yang dialami oleh anak broken home dewasa awal. Seorang anak broken home memerlukan proses yang sedemikian rupa untuk menuju penerimaan diri. Hal tersebut menarik untuk dikaji secara mendalam, karena setiap individu memiliki perjalanan tersendiri dalam proses penerimaan diri. Penerimaan diri harus dimiliki oleh setiap anak dengan latar belakang keluarga broken home, karena ketika seorang anak mampu menerima kenyataan bahwa dirinya sebagai anak broken home maka dia mampu untuk menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya, tanpa membenci kejadian dimasa lalu. Ketika seseorang mampu menerima dirinya, maka akan mampu menjalani kehidupan yang lebih baik lagi kedepannya. Dalam proses dinamika penerimaan diri anak broken home, didalamnya membahas tentang dampak perceraian, tahapan penerimaan diri, faktor penerimaan diri, aspek penerimaan diri dan cara mengatasi permasalahan yang tentunya memiliki perbedaan. Berangkat dari penjelasan diatas, peneliti ingin menggambarkan dinamika proses penerimaan diri anak broken home dewasa awal   Bagan Kerangka Teoritis

Item Type: Skripsi
Subjects: Psikologi > Psikologi klinis
Divisions: Fakultas Ushuluddin, Adab Dan Dakwah > Psikologi Islam
Depositing User: 126308203179 HENI KARTIKA SARI
Date Deposited: 20 Jun 2024 04:18
Last Modified: 20 Jun 2024 04:18
URI: http://repo.uinsatu.ac.id/id/eprint/47313

Actions (login required)

View Item View Item