Dr. H. Kojin, M.A, 196911011998031002 (2013) Peereview Pengembangan Ilmu Nahwu melalui Metode Kritik. STAIN Tulungagung Press, Tulungagung, East Java, Indonesia.
|
Text
Prvw Metode kritik.pdf Download (391kB) | Preview |
Abstract
Munculnya ilmu nahwu berawal dari penyimpangan terhadap bahasa Arab fushhâ baik yang berkaitan dengan bahasa komunikasi sehari-hari atau bahasa Alqur`an. Penyimpangan terhadap kaidah bahasa atau yang lebih dikenal dengan sebutan lahn pada masa Rasulullah masih terhitung sedikit, sehingga belum memerlukan penanganan yang serius. Setelah masa Khulafaurrasyidin, daulah Bani Umayyah dan daulah Abbasiyah agama Islam berkembang pesat tersebar di berbagai wilayah negara tetangga, seperti: Persi, Yunani, Afrika Utara, India dan lain sebagainya. Selain penduduknya memeluk agama Islam, mereka juga berbodong-bondong belajar bahasa Arab karena Alqur`an dan hadits menggunakan bahasa Arab. Adanya I’râb yang sangat ketat dalam bahasa Arab merupakan kesulitan tersendiri bagi non Arab karena tidak dijumpai dalam bahasa ibu. Padahal kesalahan dalam I’râb akan mengakibatkan kesalahan makna. Tuntutan masyarakat yang demikian mengundang pakar bahasa untuk menciptakan kaidah-kaidah nahwu yang pada waktu itu mulai dirintis oleh khalifah Ali r.a beserta sahabat karibnya Abu al-Aswad al-Du`ali. Pada masa ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan fase wadh’u wa takwîn (peletakan dan pembentukan). Pada fase pertama ini kedua tokoh tersebut sangat berjasa besar dalam menetapkan kaidah-kaidah nahwiyah, walupun masih bersifat sederhana. Dari Ali misalnya, sebutan tentang pembagian kata dalam bahasa Arab beserta ta’rifnya; isim, fi’il dan huruf, sedangkan dari Abu al-Aswad kita mengenal macam-macam I’rab rafa’, nashab, jar, jazm, ‘âmil inna wa akhawâtuhâ, kâna wa akhawâtuhâ, zhanna wa akhawâtuha, fi’il ta’ajjub, fathah, kasrah, dhummah dan lain sebagainya. Kajian nahwu kemudian mengalami perkembangan yang pesat ketika para ulama yang menekuni kajian bahasa dengan memperhatikan berbagai macam kalam Arab baik yang berupa sya’ir ataupun prosa dari berbagai kabilah yang dianggap fasih. Metode yang mereka gunakan lebih dikenal dengan sebutan sima’ wa riwâyah. Seperti yang dilakukan oleh Nashr bin Ashim, Yahya bin Ya’mar, Abu Ishaq al-Khadhramiy, Isa bin Umar al-Tsaqafî, Yunus bin Habib dan lain sebagainya. Suhu politik ikut mempengaruhi terhadap corak nahwu di masing-masing wilayah yang kemudian mengklaim dirinya sebagai madzhab, seperti Bashrah dan Kufah. Mereka saling bersaing dalam memamerkan pendapatnya yang paling kuat dan mengkritik pendapat madzhab lain dengan rasa ta’ashub (fanatik).
Item Type: | Other |
---|---|
Subjects: | Buku |
Divisions: | Karya Dosen |
Depositing User: | Kojin 196911011998031002 kojin |
Date Deposited: | 07 Jun 2020 10:18 |
Last Modified: | 07 Jun 2020 10:18 |
URI: | http://repo.uinsatu.ac.id/id/eprint/15270 |
Actions (login required)
View Item |