ERVIN WIDI SAPUTRA, 12103183146 (2024) DISHARMONI PENGATURAN SANKSI PIDANA PEMBAKARAN HUTAN YANG DI GUNAKAN SEBAGAI LAHAN PERKEBUNAN ANTARA UNDANG– UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG PERKEBUNAN DENGAN UNDANG– UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. [ Skripsi ]
This is the latest version of this item.
Text
COVER.pdf Download (848kB) |
|
Text
ABSTRAK.pdf Download (250kB) |
|
Text
DAFTAR ISI.pdf Download (179kB) |
|
Text
BAB I.pdf Download (341kB) |
|
Text
BAB II.pdf Restricted to Registered users only Download (195kB) |
|
Text
BAB III.pdf Restricted to Registered users only Download (206kB) |
|
Text
BAB IV.pdf Restricted to Registered users only Download (191kB) |
|
Text
BAB V.pdf Restricted to Registered users only Download (141kB) |
|
Text
DAFTAR PUSTAKA.pdf Download (185kB) |
|
Text
LAMPIRAN.pdf Restricted to Repository staff only Download (480kB) |
Abstract
Ervin Widi Saputra, 12103183146, Disharmoni Pengaturan Sanksi Pidana Pembakaran Hutan Yang Di Gunakan Sebagai Lahan Perkebunan Antara Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan Dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Tulungagung 2024, Pembimbing Fahmi Arif, S.H., M.H. Kata Kunci : Disharmoni, Pembakaran Hutan, Perkebunan, Lingkungan Hidup. Hutan sangat berperan penting bagi kehidupan manusia,karena itu manusia sangat memerlukan produk yang dihasilkan oleh hutan. Akan tetapi akhir-akhir ini hutan dan rawa gambut di Indonesia mengalami degradasi (penurunan suatu kualitas) dan juga deforestasi (kegiatan penebangan kayu komersial dalam skala besar) serta penghilangan hutan akibat pembukaan hutan sebagai lahan perkebunan dengan jumlah yang cukup besar, dan bahkan Indonesia merupakan negara dengan tingkat deforestasi paling parah di dunia. Salah satu penyebab terjadinya degradasi dan deforestasi hutan adalah kebakaran hutan. Dampak negatif dari kebakaran hutan yang sangat dirasakan manusia ialah berkurangnya manfaat dari potensi hutan seperti manfaat pepohonan yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan juga obat-obatan, serta kurangnya ketersediaan udara bersih nan segar yang dihasilkan oleh vegetasi hutan. Lalu hilangnya fungsi hutan sebagai tata air dan pencegah terjadinya erosi. Rumusan masalah didalam pembahasan ini adalah : 1). Bagaimana disharmonisasi aturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 Tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup ? 2). Bagaimana idealnya pengaturan sanksi pidana dalam aktifitas pembakaran hutan yang digunakan sebagai lahan perkebunan ? Jenis penelitian yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan). Sifat penelitian ini termasuk penelitian yuridis normatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah teknik dokumentasi, yaitu dengan cara mengumpulkan data-data tertulis yang telah menjadi dokumen lembaga atau instansi. Penelitian yang digunakan ialah penelitian kepustakaan, yang berarti penelitian yang dilakukan dengan menggunakan literatur, baik berupa buku-buku catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu. Melalui metode ini penulis berusaha mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan mencari pendapat-pendapat serta teori-teori yang relevan dengan tindak pidana terhadap “Disharmoni Pengaturan Sanksi Pidana Pembakaran Hutan Sebagai Lahan Perkebunan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian dokumentasi dengan meneliti sumber-sumber data tertulis, yaitu: buku-buku hukum tata negara, undang-undang, jurnal hukum dan tulisan lain yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ; 1). Di undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan pasal 56 ayat 1 disebutkan “setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka lahan dengan cara membakar” di ayat 2 disebutkan “setiap pelaku usaha perkebunan berkewajiban memiliki sistem sarana prasarana pengendalian kebakaran lahan” serta di pasal 108 disebutkan “setiap pelaku usaha perkebunan yang membuka lahan dengan membakar dikenakan pidana paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda paling banyak 10 (sepuluh) milliar”. Di undang-undang tersebut kurang spesifik menjelaskan tentang bagaimana pengaturan pelarangan pembakaran hutan yang digunakan sebagai lahan perkebunan, bila dibandingkan dengan undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasal 69 ayat 1 huruf a disebutkan “setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup” dan di pasal 69 ayat 1 huruf h disebutkan “setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar” lalu di pasal 69 ayat 2 disebutkan “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing” lalu di pasal 108 disebutkan “setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1 huruf h, dikenakan pidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit 3 (tiga) milliar dan denda paling banyak 10 (sepuluh) milliar”. Dari undang-undang tersebut dapat dilihat secara spesifik bagaimana pengaturan larangan pembakaran hutan yang digunakan sebagai lahan perkebunan serta penetapan sanksi pidana batasan minimum dan maksimum terhadap pelaku pelanggaran. 2). Jika dilihat dari fungsi dan tujuan dari kedua undang-undang tersebut, maka Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 pasal 56 ayat 1 jo pasal 108 tentang perkebunan masih kurang relevan jika digunakan sebagai landasan hukum untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku pelanggaran pembakaran hutan yang digunakan sebagai lahan perkebunan. Sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 pasal 69 ayat 1 huruf a dan huruf h serta pasal 69 ayat 2 jo pasal 108 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masih lebih baik digunakan sebagai landasan hukum untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku pelanggaran, yang untuk saat ini undang-undang tersebut telah di ubah menjadi Undang-Undang cipta kerja Nomor 11 Tahun 2020.
Item Type: | Skripsi |
---|---|
Subjects: | Hukum > Undang-undang |
Divisions: | Fakultas Syariah Dan Ilmu Hukum > Hukum Tata Negara |
Depositing User: | 12103183146 ERVIN WIDI SAPUTRA |
Date Deposited: | 04 Sep 2024 07:51 |
Last Modified: | 04 Sep 2024 07:51 |
URI: | http://repo.uinsatu.ac.id/id/eprint/52532 |
Available Versions of this Item
-
DISHARMONI PENGATURAN SANKSI PIDANA PEMBAKARAN HUTAN YANG DI GUNAKAN SEBAGAI LAHAN PERKEBUNAN ANTARA UNDANG– UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG PERKEBUNAN DENGAN UNDANG– UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. (deposited UNSPECIFIED)
- DISHARMONI PENGATURAN SANKSI PIDANA PEMBAKARAN HUTAN YANG DI GUNAKAN SEBAGAI LAHAN PERKEBUNAN ANTARA UNDANG– UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG PERKEBUNAN DENGAN UNDANG– UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. (deposited 04 Sep 2024 07:51) [Currently Displayed]
Actions (login required)
View Item |